Hubungan Dokter-Pasien
Sungguh ironis bahwa di tengah perkembangan teknologi dan kedokteran saat ini bangsa Indonesia sebenarnya masih sangat terbelakang dalam hal kesehatan. Hal ini tercermin dari perilaku pasien yang karena ketidaktahuannya menyerahkan nasib sepenuhnya kepada dokter atau rumah sakit sehingga seringkali menjadi korban malapraktik, atau malah bersikap cuek dan potong kompas dengan mengobati dirinya sendiri.
Yang menarik, keawaman pasien ini terjadi pada seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Mereka yang mampu berobat ke luar negeri sekalipun sebagian besar tidak mempunyai pengetahuan yang memadai tentang aspek dasar pemeliharaan kesehatan maupun pengobatan penyakit. Akibatnya, pasien seringkali bingung menghadapi masalah kesehatan yang dihadapinya. Pola komunikasi yang cenderung satu arah disertai sikap dokter yang arogan dan paternalistik membuat pasien enggan bertanya kepada dokter. Celakanya lagi, banyaknya mitos dan kabar burung yang beredar di masyarakat seputar dunia kesehatan membuat pasien dibanjiri dengan informasi yang salah. Tidak sedikit pula iklan produk di pasaran yang sebenarnya misleading namun kemudian dianggap benar oleh masyarakat –tampilan iklan yang meyakinkan karena ditunjang hasil uji klinis atau karena iklan tersebut menampilkan sosok selebriti atau pakar kesehatan membuat masyarakat percaya. Terlebih lagi, placebo effect dari produk tersebut seringkali membuat masyarakat percaya bahwa produk tersebut memang baik untuk kesehatan.
Kelompok Health Talk yang saya dirikan dan asuh sejak tahun lalu juga menunjukkan fenomena menarik mengenai perilaku pasien. Dalam setiap pertemuan bulanan, kami membahas satu atau dua topik bersama Profesor Iwan Darmansjah, SpFK dan dalam setiap pertemuan saya mengamati kecenderungan para peserta untuk diam saja meskipun mereka kurang memahami apa yang sedang didiskusikan. Beberapa dari mereka kemudian menyampaikan kesulitan pemahaman ini kepada saya, namun setiap kali saya menanyakan mengapa mereka tidak langsung bertanya kepada si pembicara, mereka menyatakan enggan karena malu atau takut dianggap bodoh. Pepatah mungkin mengatakan “malu bertanya, sesat di jalan”, tapi dalam kenyataannya banyak orang yang masih terjebak dalam keadaan seperti itu.
Dalam interaksi antara dokter dan pasien, kedudukan dokter yang relatif lebih tinggi dari pasien seringkali membuat pasien enggan bertanya. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi alasan mengapa hal ini terjadi: malu, takut dianggap bodoh, atau enggan karena dokter berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti pasien – banyak istilah kedokteran yang membuat pasien kebingungan dan tidak tahu harus bertanya dari mana. Jay Katz dalam bukunya yang berjudul “The Silent World of Doctor and Patient” merujuk pada fenomena di mana pasien, karena penderitaan yang diakibatkan oleh penyakitnya, menaruh harapan yang besar pada dokter sehingga kemudian secara tak sadar ia pun mencitrakan dokter sebagai figur yang mulia dan tidak mungkin berbuat salah (infallible). Akibatnya pasien pun menyerahkan nasib sepenuhnya kepada dokter dan dokter yang memutuskan tindakan medis apa yang harus dilakukan tanpa berkonsultasi dengan pasien. Dokter juga bersikap arogan, judes, patronizing terhadap pasien sehingga sulit diajak berkomunikasi. Jay Katz melansir bahwa hal ini disebabkan karena keinginan sang dokter untuk mempertahankan citra profesinya yang dipandang terhormat di masyarakat; lebih baik membatasi komunikasi daripada banyak bicara dan bisa sekali waktu tidak dapat menjawab pertanyaan pasien secara memuaskan. Sikap demikian semakin memperlebar jurang komunikasi antara dokter dengan pasien dan tidak jarang berbuntut sengketa malapraktik yang sebagian besar merugikan pasien. Di Amerika Serikat sendiri, keadaan ini sempat berlangsung cukup lama sampai kemudian buku karangan Jay Katz tersebut memotivasi para praktisi medis untuk melakukan reformasi menyeluruh terhadap pola hubungan dokter dan pasien.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah bagaimana pola hubungan antara dokter dengan pasien yang ideal? Sudah sedemikian parahkah hubungan ini sehingga perlu dilakukan perubahan yang drastis? Mungkin ada baiknya sebagai pasien kita berkaca pada diri kita sendiri. Seiring dengan makin maraknya pemberitaan media masa tentang dugaan malapraktik kedokteran, sebenarnya ada masalah yang tak kalah pentingnya dengan masalah kemerosotan moral dokter, yaitu masalah keawaman pasien. Keawaman yang dimaksud mencakup minimnya pengetahuan dasar pasien mengenai aspek kesehatan, pengetahuan mengenai penyakit yang diderita, serta ketidaktahuan pasien tentang hak dan kewajibannya sebagai pasien. Terkait dengan masalah ini adalah keengganan pasien untuk bertanya, sehingga masalah ini menjadi semakin parah.
Keawaman pasien seringkali membuat komunikasi antara dokter dan pasien terhambat atau bahkan menemui jalan buntu. Prof. Iwan Darmansjah, SpFK memberi contoh bagaimana sulitnya seorang dokter menegakkan diagnosa karena pasien tidak bisa mengungkapkan dengan jelas keluhan yang dideritanya: banyak pasien yang menganggap sakit kepala dan pusing adalah hal yang sama sehingga pasien tersebut menggunakan kedua istilah tersebut tanpa perbedaan (interchangeably). Akibatnya, seorang dokter yang kurang berpengalaman atau kurang ahli dalam menyusun anamnesis (sejarah penyakit) bisa mengambil kesimpulan yang salah atas cerita sang pasien dan diagnosis yang ditegakkannya pun menjadi salah. Memang menyusun anamnesis yang baik dalam profesi kedokteran adalah seni yang membutuhkan pengalaman serta bakat seorang dokter – tugas ini saya kira serupa dengan tugas seorang detektif dalam memecahkan misteri kasus kejahatan. Selain itu, dokter yang ahli biasanya dibanjiri banyak sekali pasien sehingga sulit baginya untuk bisa meluangkan cukup waktu bagi setiap pasien dalam proses penyusunan anamnesis. Namun tidak dapat dibantah pula bahwa pasien juga berperan dalam hal ini karena masukan darinyalah yang menentukan arah diagnosa dokter. Tanpa kerjasama yang baik antara pasien dan dokter, pasien mungkin tidak mendapatkan terapi yang tepat dan bahkan pasien pun lalu bisa melancarkan tuduhan malapraktik kepada dokter apabila hasil pengobatan ternyata tidak sesuai dengan harapannya.
Bagaimana sebaiknya pasien berinteraksi dengan dokter? Mungkin ada baiknya pasien belajar berkomunikasi secara efektif dengan dokter. Selain mengemukakan keluhannya secara jelas dan sistematis kepada dokter, pasien juga harus menanyakan tentang opsi terapi atau tindakan medis apa saja yang tersedia (lengkap dengan uraian tentang benefit and risk) serta prognosis (ekspektasi) dari pengobatan tersebut. Pasien harus berani bertanya kepada dokter apabila ia tidak mengerti karena memang hal itu adalah hak seorang pasien. Adalah tugas dokter untuk membantu pasien memahami seluk-beluk penyakitnya dan semua opsi yang bisa dipilihnya sehingga pasien dapat menetapkan suatu informed decision tentang apa yang harus diperbuat dokter padanya. Kalaupun nantinya sang pasien meminta dokter untuk memutuskan terapi apa yang terbaik untuknya, paling tidak pasien sudah mengetahui apa yang bisa ia harapkan dari tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadapnya dan resiko apa saja yang harus dihadapinya sebagai akibat dari tindakan tersebut. Mungkin dibutuhkan suatu perubahan pola pikir yang cukup drastis dalam masyarakat Indonesia dalam hal ini, namun perlu diingat bahwa hubungan pasien dan dokter adalah hubungan timbal-balik yang saling mempengaruhi. Jika pasien terus menyerah dan pasrah, jangan harap para dokter mau berhenti bersikap judes, arogan dan paternalistik. Namun, bila pasien menunjukkan pengetahuan yang baik mengenai penyakitnya, maka dokter akan berhati2 dengan kata2nya dan lebih memperhatikannya.
Untuk memperluas pengetahuan, pasien juga dapat merujuk pada berbagai sumber informasi kesehatan. Saat ini banyak buku, situs Internet, maupun seminar yang menawarkan berbagai informasi kesehatan sehingga pasien dapat membekali diri dengan pengetahuan dasar tentang kesehatan. Perlu diingat dalam hal ini bahwa tidak semua sumber memuat informasi yang benar; tidak sedikit yang menyesatkan karena diselenggarakan oleh industri untuk mencari laba. Untuk itu tidak ada salahnya jika pasien mencari informasi dari berbagai sumber atau merujuk pada sumber yang bersifat netral seperti National Health Institute di Amerika Serikat.
Pasien juga perlu menyadari bahwa kalaupun ia memiliki pengetahuan yang luas tentang kesehatan, hal itu tidak serta-merta menjadikannya seorang dokter. Saat ini banyak orang yang cenderung potong kompas mengobati dirinya sendiri atau anggota keluarganya dengan alasan tidak percaya lagi pada layanan kesehatan di Indonesia atau malas datang ke dokter. Hal ini didukung oleh keadaan di mana obat yang harusnya diresepkan oleh dokter pun dapat dibeli secara bebas di apotik. Fenomena ini mencemaskan karena pengobatan diri sendiri (self-medication) dalam arti yang sesungguhnya hanya terbatas pada gejala remeh-temeh dan itupun harus disikapi secara bijak oleh sang pasien karena ia harus menentukan sampai sejauh mana dia bisa harus berhenti mengobati dirinya sebelum berkonsultasi ke dokter. Pengobatan diri sendiri secara liberal dapat berakibat keracunan obat yang membahayakan keselamatan jiwanya. Dan kalau ini sudah terjadi, tidak tertutup kemungkinan pengobatan yang kemudian harus dijalani sang pasien menjadi makin sulit dan mahal. Sebelum memutuskan pengobatan apa yang tepat, perlu disusun sebuah anamnesis yang baik dan ditegakkan sebuah diagnosa – semua ini memerlukan keahlian klinis yang hanya dimiliki dokter.
Dari pihak dokter, mungkin ada baiknya jika dokter pun belajar berkomunikasi lebih baik dengan pasien. Kalangan dokter sendiri mengemukakan bahwa sering terjadi perbedaan dalam bahasa yang digunakan oleh dokter dan pasien (doctor talk versus patient talk). Sebuah artikel karangan Rachel Sobel di New England Journal of Medicine yang berjudul Medicine as Second Language menjabarkan secara rinci bagaimana sulitnya para siswa sekolah kedokteran atau para dokter muda menjembatani perbedaan tersebut; bahkan mereka pun menganggap bahwa mempelajari doctor talk adalah seperti mempelajari bahasa asing. Namun mungkin yang lebih penting adalah kemauan sang dokter untuk mendengarkan dan merekam secara lengkap semua keluhan dan sejarah penyakit sang pasien sebelum menegakkan diagnosa. Saya rasa yang kita butuhkan bukanlah dokter yang jenius, tapi dokter yang tidak terlalu bodoh dan mau meluangkan waktu bagi pasiennya.
Melinda Wiria
Alumnus University of Pennsylvania
Dept of Bioengineering, Class of 1996
mnwiria@alumni.upenn.edu
http://health.yahoogroups.com/health-talk
Yang menarik, keawaman pasien ini terjadi pada seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Mereka yang mampu berobat ke luar negeri sekalipun sebagian besar tidak mempunyai pengetahuan yang memadai tentang aspek dasar pemeliharaan kesehatan maupun pengobatan penyakit. Akibatnya, pasien seringkali bingung menghadapi masalah kesehatan yang dihadapinya. Pola komunikasi yang cenderung satu arah disertai sikap dokter yang arogan dan paternalistik membuat pasien enggan bertanya kepada dokter. Celakanya lagi, banyaknya mitos dan kabar burung yang beredar di masyarakat seputar dunia kesehatan membuat pasien dibanjiri dengan informasi yang salah. Tidak sedikit pula iklan produk di pasaran yang sebenarnya misleading namun kemudian dianggap benar oleh masyarakat –tampilan iklan yang meyakinkan karena ditunjang hasil uji klinis atau karena iklan tersebut menampilkan sosok selebriti atau pakar kesehatan membuat masyarakat percaya. Terlebih lagi, placebo effect dari produk tersebut seringkali membuat masyarakat percaya bahwa produk tersebut memang baik untuk kesehatan.
Kelompok Health Talk yang saya dirikan dan asuh sejak tahun lalu juga menunjukkan fenomena menarik mengenai perilaku pasien. Dalam setiap pertemuan bulanan, kami membahas satu atau dua topik bersama Profesor Iwan Darmansjah, SpFK dan dalam setiap pertemuan saya mengamati kecenderungan para peserta untuk diam saja meskipun mereka kurang memahami apa yang sedang didiskusikan. Beberapa dari mereka kemudian menyampaikan kesulitan pemahaman ini kepada saya, namun setiap kali saya menanyakan mengapa mereka tidak langsung bertanya kepada si pembicara, mereka menyatakan enggan karena malu atau takut dianggap bodoh. Pepatah mungkin mengatakan “malu bertanya, sesat di jalan”, tapi dalam kenyataannya banyak orang yang masih terjebak dalam keadaan seperti itu.
Dalam interaksi antara dokter dan pasien, kedudukan dokter yang relatif lebih tinggi dari pasien seringkali membuat pasien enggan bertanya. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi alasan mengapa hal ini terjadi: malu, takut dianggap bodoh, atau enggan karena dokter berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti pasien – banyak istilah kedokteran yang membuat pasien kebingungan dan tidak tahu harus bertanya dari mana. Jay Katz dalam bukunya yang berjudul “The Silent World of Doctor and Patient” merujuk pada fenomena di mana pasien, karena penderitaan yang diakibatkan oleh penyakitnya, menaruh harapan yang besar pada dokter sehingga kemudian secara tak sadar ia pun mencitrakan dokter sebagai figur yang mulia dan tidak mungkin berbuat salah (infallible). Akibatnya pasien pun menyerahkan nasib sepenuhnya kepada dokter dan dokter yang memutuskan tindakan medis apa yang harus dilakukan tanpa berkonsultasi dengan pasien. Dokter juga bersikap arogan, judes, patronizing terhadap pasien sehingga sulit diajak berkomunikasi. Jay Katz melansir bahwa hal ini disebabkan karena keinginan sang dokter untuk mempertahankan citra profesinya yang dipandang terhormat di masyarakat; lebih baik membatasi komunikasi daripada banyak bicara dan bisa sekali waktu tidak dapat menjawab pertanyaan pasien secara memuaskan. Sikap demikian semakin memperlebar jurang komunikasi antara dokter dengan pasien dan tidak jarang berbuntut sengketa malapraktik yang sebagian besar merugikan pasien. Di Amerika Serikat sendiri, keadaan ini sempat berlangsung cukup lama sampai kemudian buku karangan Jay Katz tersebut memotivasi para praktisi medis untuk melakukan reformasi menyeluruh terhadap pola hubungan dokter dan pasien.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah bagaimana pola hubungan antara dokter dengan pasien yang ideal? Sudah sedemikian parahkah hubungan ini sehingga perlu dilakukan perubahan yang drastis? Mungkin ada baiknya sebagai pasien kita berkaca pada diri kita sendiri. Seiring dengan makin maraknya pemberitaan media masa tentang dugaan malapraktik kedokteran, sebenarnya ada masalah yang tak kalah pentingnya dengan masalah kemerosotan moral dokter, yaitu masalah keawaman pasien. Keawaman yang dimaksud mencakup minimnya pengetahuan dasar pasien mengenai aspek kesehatan, pengetahuan mengenai penyakit yang diderita, serta ketidaktahuan pasien tentang hak dan kewajibannya sebagai pasien. Terkait dengan masalah ini adalah keengganan pasien untuk bertanya, sehingga masalah ini menjadi semakin parah.
Keawaman pasien seringkali membuat komunikasi antara dokter dan pasien terhambat atau bahkan menemui jalan buntu. Prof. Iwan Darmansjah, SpFK memberi contoh bagaimana sulitnya seorang dokter menegakkan diagnosa karena pasien tidak bisa mengungkapkan dengan jelas keluhan yang dideritanya: banyak pasien yang menganggap sakit kepala dan pusing adalah hal yang sama sehingga pasien tersebut menggunakan kedua istilah tersebut tanpa perbedaan (interchangeably). Akibatnya, seorang dokter yang kurang berpengalaman atau kurang ahli dalam menyusun anamnesis (sejarah penyakit) bisa mengambil kesimpulan yang salah atas cerita sang pasien dan diagnosis yang ditegakkannya pun menjadi salah. Memang menyusun anamnesis yang baik dalam profesi kedokteran adalah seni yang membutuhkan pengalaman serta bakat seorang dokter – tugas ini saya kira serupa dengan tugas seorang detektif dalam memecahkan misteri kasus kejahatan. Selain itu, dokter yang ahli biasanya dibanjiri banyak sekali pasien sehingga sulit baginya untuk bisa meluangkan cukup waktu bagi setiap pasien dalam proses penyusunan anamnesis. Namun tidak dapat dibantah pula bahwa pasien juga berperan dalam hal ini karena masukan darinyalah yang menentukan arah diagnosa dokter. Tanpa kerjasama yang baik antara pasien dan dokter, pasien mungkin tidak mendapatkan terapi yang tepat dan bahkan pasien pun lalu bisa melancarkan tuduhan malapraktik kepada dokter apabila hasil pengobatan ternyata tidak sesuai dengan harapannya.
Bagaimana sebaiknya pasien berinteraksi dengan dokter? Mungkin ada baiknya pasien belajar berkomunikasi secara efektif dengan dokter. Selain mengemukakan keluhannya secara jelas dan sistematis kepada dokter, pasien juga harus menanyakan tentang opsi terapi atau tindakan medis apa saja yang tersedia (lengkap dengan uraian tentang benefit and risk) serta prognosis (ekspektasi) dari pengobatan tersebut. Pasien harus berani bertanya kepada dokter apabila ia tidak mengerti karena memang hal itu adalah hak seorang pasien. Adalah tugas dokter untuk membantu pasien memahami seluk-beluk penyakitnya dan semua opsi yang bisa dipilihnya sehingga pasien dapat menetapkan suatu informed decision tentang apa yang harus diperbuat dokter padanya. Kalaupun nantinya sang pasien meminta dokter untuk memutuskan terapi apa yang terbaik untuknya, paling tidak pasien sudah mengetahui apa yang bisa ia harapkan dari tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadapnya dan resiko apa saja yang harus dihadapinya sebagai akibat dari tindakan tersebut. Mungkin dibutuhkan suatu perubahan pola pikir yang cukup drastis dalam masyarakat Indonesia dalam hal ini, namun perlu diingat bahwa hubungan pasien dan dokter adalah hubungan timbal-balik yang saling mempengaruhi. Jika pasien terus menyerah dan pasrah, jangan harap para dokter mau berhenti bersikap judes, arogan dan paternalistik. Namun, bila pasien menunjukkan pengetahuan yang baik mengenai penyakitnya, maka dokter akan berhati2 dengan kata2nya dan lebih memperhatikannya.
Untuk memperluas pengetahuan, pasien juga dapat merujuk pada berbagai sumber informasi kesehatan. Saat ini banyak buku, situs Internet, maupun seminar yang menawarkan berbagai informasi kesehatan sehingga pasien dapat membekali diri dengan pengetahuan dasar tentang kesehatan. Perlu diingat dalam hal ini bahwa tidak semua sumber memuat informasi yang benar; tidak sedikit yang menyesatkan karena diselenggarakan oleh industri untuk mencari laba. Untuk itu tidak ada salahnya jika pasien mencari informasi dari berbagai sumber atau merujuk pada sumber yang bersifat netral seperti National Health Institute di Amerika Serikat.
Pasien juga perlu menyadari bahwa kalaupun ia memiliki pengetahuan yang luas tentang kesehatan, hal itu tidak serta-merta menjadikannya seorang dokter. Saat ini banyak orang yang cenderung potong kompas mengobati dirinya sendiri atau anggota keluarganya dengan alasan tidak percaya lagi pada layanan kesehatan di Indonesia atau malas datang ke dokter. Hal ini didukung oleh keadaan di mana obat yang harusnya diresepkan oleh dokter pun dapat dibeli secara bebas di apotik. Fenomena ini mencemaskan karena pengobatan diri sendiri (self-medication) dalam arti yang sesungguhnya hanya terbatas pada gejala remeh-temeh dan itupun harus disikapi secara bijak oleh sang pasien karena ia harus menentukan sampai sejauh mana dia bisa harus berhenti mengobati dirinya sebelum berkonsultasi ke dokter. Pengobatan diri sendiri secara liberal dapat berakibat keracunan obat yang membahayakan keselamatan jiwanya. Dan kalau ini sudah terjadi, tidak tertutup kemungkinan pengobatan yang kemudian harus dijalani sang pasien menjadi makin sulit dan mahal. Sebelum memutuskan pengobatan apa yang tepat, perlu disusun sebuah anamnesis yang baik dan ditegakkan sebuah diagnosa – semua ini memerlukan keahlian klinis yang hanya dimiliki dokter.
Dari pihak dokter, mungkin ada baiknya jika dokter pun belajar berkomunikasi lebih baik dengan pasien. Kalangan dokter sendiri mengemukakan bahwa sering terjadi perbedaan dalam bahasa yang digunakan oleh dokter dan pasien (doctor talk versus patient talk). Sebuah artikel karangan Rachel Sobel di New England Journal of Medicine yang berjudul Medicine as Second Language menjabarkan secara rinci bagaimana sulitnya para siswa sekolah kedokteran atau para dokter muda menjembatani perbedaan tersebut; bahkan mereka pun menganggap bahwa mempelajari doctor talk adalah seperti mempelajari bahasa asing. Namun mungkin yang lebih penting adalah kemauan sang dokter untuk mendengarkan dan merekam secara lengkap semua keluhan dan sejarah penyakit sang pasien sebelum menegakkan diagnosa. Saya rasa yang kita butuhkan bukanlah dokter yang jenius, tapi dokter yang tidak terlalu bodoh dan mau meluangkan waktu bagi pasiennya.
Melinda Wiria
Alumnus University of Pennsylvania
Dept of Bioengineering, Class of 1996
mnwiria@alumni.upenn.edu
http://health.yahoogroups.com/health-talk
0 Comments:
Post a Comment
<< Halaman Depan
Baca Juga Informasi ini :